Senin, 06 April 2020

SOEKARNO DAN MARXISME


Foto: Istimewa

Sebuah catatan terbesar bagi negeri ini memiliki tokoh hebat dan bijaksana terhadap rakyatnya. Sosok itu ialah Bung Karno, bapak proklamator RI. Memasuki masa dewasanya Bung Karno menghabiskan waktunya dengan buku-buku. Ia mengenal marxisme sejak berusia 17 tahun. Pada saat itu beliau di jejali oleh sang gurunya yaitu HOS. Tjokro Aminoto dengan bacaan-bacaan kiri.

Salah satu ciri khas yang menjadi pembeda antara Bung Karno dengan politisi saat ini adalah penguasaanya dalam teori-teori politik. Ia bukan seorang politisi karbitan atau  dari politisi keturunan. Ia juga bukan politisi ngawur-awuran, yang landasan tindakannya tidak didasarkan sebuah panduan yang jernih dan solid. Sebaliknya, seluruh  landasan tindakan politik dari Bung Karno merupakan refleksi atas kondisi sosial pada masanya, dan semua itu di tuangkan dalam catatan-catatannya dan dalam pidatonya yang menggebu-gebu. Salah satu yang mempengaruhi sumber pemikiran realitas Bung Karno dengan lebih mendalam dan utuh yakni marxisme.

Hal tersebut diakuinya sendiri pada sebuah koran pada tahun 1941, ia menyampaikan bahwa “teori marxisme adalah teori-teori yang saya anggap kompeten dalam memecahkan permasalahan kelas-kelas politik, dan kelas-kelas kemasyarakatan”. Jadi Bung Karno adalah seseosok manusia pergerakan dengan bersenjata marxisme.

Bagi saya sendiri berpendapat, hal tersebut tidak berlebihan bahwa marxisme telah berjasa besar di kehidupan Bung Karno ini. Sebab, dengan adanya marxisme yang tumbuh di dalam kehidupan Bung Karno, ia menjadi tidak rasis dengan kolonialisme, sebagai utaraan ekspresi berkulit putih. Dia sadar bahwa adanya kolonialisme adalah konsekuensi dari adanya kapitalisme yang membutuhkan sumber bahan baku, menghabiskan tatanan negeri, tenaga kerja murah, penjualan di pasar menjadi mahal, dan mengakomodasi lahan baru sebagai prasyarat keberlanjutan dari prose akumulasi sistem kapital.

Tidak lepas dari Bung Karno adalah sesosok yang memeluk nasionalisme sebelum jauh-jauh dari chauvuinisme dan fasisme. Karena Bung Karno bercampur dengan nasionalisme, ia memiliki jiwa sangat progresif. Bisa dikatakan, ia adalah nasionalisme kiri, karena selalu mengedepankan cita-cita kesejahteraan masyarakat dan kelas proletar sebagai tujuan utamanya.

Pada tahun 1958 Bung Karno mencetuskan kolaborasi yang memunculkan sebuah pemikiran marxis namun ala-ala indonesia yakni Marhaenisme. Marhaenisme itu sendiri diambil dari nama petani di daerah bandung, Bung Karno menemukan Marhaenisme pada saat melakukan riset di bandung selatan pada tahun 1921. Bung Karno menyebutkan bahwa marhaenisme sebagai marxisme yang dapat di berlakukan, dan di cocokan di indonesia.

Tentu saja yang menjadi pertanyaan apakah ada kaitannya yang dicocokkan antara marxisme dengan keadaan indonesia? Sebagai seorang pemarxis, Bung Karno menganalisa dengan memakai kelas sosial. Menurut bacaan Bung Karno, selalu ada kelas sosial yang memainkan tugas sejarah untuk mengubah relasi produksi agar sejalan dengan tenaga-tenaga pekerja produktif. Kalo di eropa tugas sejarah yakni proletar. Namun masyarakat indonesia berbeda, kendati masyarakat proletarnya sudah ada, seperti para pekerja di pertambangan. Tetapi komoditas jumlahnya masih kecil, masyarakat indonesia lebih dominan para pemilik produksi kecil, perdagangan kecil, pertanian keci, dan usaha kecil. Kehidupan mereka sangat sengsara dan bisa dikatakan sebagai masyarakat tertindas.

Sejalan dengan keadan tertindas itu, proletar berbeda dengan marhaen, proletar adalah terminologi yang dikembangkan oleh marx untuk menjelaskan perkembangan kapitalisme di Eropa. Sedangkan marhaen mereka yang memiliki alat produksi kecil, yang tidak menyewa, di kerjakan oleh keluarganya, dan hasil upah produksinya untuk menghidupi kehidupan keluarganya.

Cita-cita marhaenisme itu sendiri memperkuat dan mendorong para buruh dan kaum miskin lainnya, tentunya untuk menggulingkan sistem kapitalisme dan imperialisme, sebabnya sistem kedua tersebut telah menindas rakyat jelata. Pada tanggal 17 agustus 1946 dalam pidatonya Bung Karno menyatakan bahwa Revolusi Indonesia yang bergejolak pada tahun 1945 bermuara pada Sosialisme Indonesia. Esensi dari Sosialisme itu sendiri adalah kesejahteraan sosial dan kemakmuran bagi setiap orang. Sebagai prasyarat, harus ada kepemilikan pabrik yang kolektif, harus ada industrialistik yang kolektif, ada produksi yang kolektif, dan harus ada distributif yang kolektif.

Selain itu Bung Karno menegaskan bahwasannya “Sosialisme Indonesia sebagai hari depan, revolusi indonesia bukan semata-mata ide ciptaan seseorang (dalam satu malam tidak tidur), juga bukanlah barang yang diimpor dari luar negeri lalu kita bisa menikmati, atau hal paksaan dari masyarakat luar indonesia. Akan tetapi, suatu perlawanan penentangan daripada kaum tertekan. Suatu kesadaran sosial yang ditimbulkan oleh masyarakat indonesia sendiri, dan sebuah suatu keharusan dari sejarah. Dengan demikian, sosialisme menjadi patokan masyarakat indonesia dengan tradisi progresif yang melekat dan mengakar ditubuh masyarakat indonesia yakni gotong royong.

Untuk mewujudkan Sosialisme Indonesia, Bung Karno belajar dari revolusi perancis. Pada masa itu, kaum borjuis menarik kaum proletar dan kaum tani dalam persekutuan dibawah slogan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan untuk menumbangkan kekuasaan feodalisme. Begitu kekuasaan feodal tumbang, kaum borjuis membangun kekuasaannya sendiri dengan menyingkirkan kaum proletar dan kaum miskin lainnya. Bung Karno mewanti-wanti betul kejadian revolusi perancis tidak terulang dalam revolusi indonesia. Oleh karenanya, dalam perjungan mendatangkan kemerdekaannya pada tahun 1945, kaum marhaen harus tetap menjaganya supaya tidak kena getahnya, akan tetapi kaum borjuis atau feodal yang memakan buahnya.

Demikian seorang Bung Karno membuat 2 (dua) gagasan terbesarnya yaitu Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Sosio nasionalisme adalah nasionalisme yang berpihak terhadap massa-rakyat. Sosio-nasionalisme menolak kapitalisme dan feodalisme. Sosio-nasionalisme mencita-citakan sebuah masyrakat yang di dalamnya tidak ada penindasan dan eksploitasi oleh suatu kelas terhadap kelas tertentu. Secara harfiah sosio-nasionalisme yang mengkhendaki masyarakat tanpa kelas.

Dalam capaiannya Sosio-nasionalisme menawarkan prinsip beberapa hal. Pertama, Sosio-nasionalisme politik dan Sosio-nasionalisme ekonomi berdikari. Sosio-nasionalisme politik nasional dan berdaulat menjamin penyelenggaraan kekuasaan politik terhadap negara republik indonesia tidak di recoki. Dan Sosio-nasionalisme ekonomi berdikari, memastikan kedaulatan negara terhadap seluruh kekayaan ekonomi sosial. Kedua, Sosio-nasionalisme menempatkan kemerdekaan sebagai jembatan emas untuk mencapai cita-cita masyarakat maupun negara untuk yang lebih tinggi, yakni masyarakat adil dan makmur. Ketiga, mengolaborasikan dalam semangat kebangsaan dan kemanusiaan. Demikian Sosio-nasionalisme mencegah terjadinya nasionalisme yang sempit. Selain itu sosionalime menganggap perjuangan emansipasi nasional tidak terpisahkan dalam perjuangan bangsa-bangsa diseluruh dunia untuk mewujudkan bangsa yang adil dan beradab.

Kemudian dalam sosio-demokrasi, yakni antitesa dari demokrasi parlementer yang dihasilkan oleh revolusi perancis. Sosio-demokrasi juga menyatakan keberpihakan, yakni kepada rakyat marhaen. Secara harfiah, sosio-demokrasi berarti demokrasi masyarakat atau demokrasi massa-rakyat. Karena keberpihakan sosio-demokrasi tersebut menolak kapitalisme dan feodalisme. Yang menjadi pertanyaan apa hubungan sosio-demokrasi dengan cita-cita marhaenisme, yang mewujudkan masyarakat adil dan makmur?

Dalam prinsipnya sosio-demokrasi menawarkan beberapa hal. Pertama, sosio-demokrasi mengidamkan kekuasaan politik ditangan rakyat marhaen. Bentuk konkretnya yakni negara yang berisikan rakyat, seluruh urusan ekonomi di pegang oleh rakyat, dengan rakyat dan untuk rakyat. Kedua, sosio-demokrasi mendorong kepemilikian sosial terhadap alat-alat produksi dan sumber daya ekonomi. Ini adalah sebuah langkah untuk menentukan demokrasi ekonomi, maka dengan di lapangan politik dan budaya menjadi sangat mungkin. Oleh karenanya, ekonomi pangkal dari sumber segala bagi kehidupan politik dan sosial budaya. Ketiga, menyerahkan urusan ekonomi dan politik di tangan rakyat. Sosio-demokrasi menghilangkan pemisahan antar ekonomi dan politk yang lazim digunakan pada sistem kapitalisme. Untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi tidak dianggap sebagai individualistik namun menjadi urusan kolektif.

Bung Karno tidak berhenti dalam gagasanya, ia juga menawarkan gagasannya yakni strategi politik. Menurutnya, dalam mewujudkan Sosialisme Indonesia revolusi harus ditempuh menggunakan 2 (dua) fase yakni fase nasional demokratis dan fase sosialis. Dalam nasionalis demokratis kita akan mendirikan negara yang merdeka dan demokratis, sedangkan dalam fase sosialisme kita akan mendirikan sosialisme (gotong royong). Dalam fase nasionalis demokratis kita akan mengakhiri penindasan sosial dan menghancurkan sisa-sisa feodalisme. Tentunya perjuangan kita dalam nasionalis demokratis untuk menghancurkan kolonialisme di lapangan politik, ekonomi, dan sosial budaya.

Dalam fase nasionalis demokratis, untuk menyiapkan syarat-syarat fase selanjutnya yakni revolusi sosialis.  Syarat-syarat tersebut antara lain yakni, mencerdaskan kehidupan bangsa, mendorong demokrasi seluas-luasnya, dan membangun kepribadian mental sebuah bangsa. Dengan demikian, revolusi sosialisme yang mengarah pada perwujudan sosialis indonesia yang tidak ada lagi kapitalisme. Salah satu ciri poin utama dalam sosialisme adalah kepemilikan sosial terhadap alat produksi. Dan seperti yang dikatakan oleh Bung Karno, negara hanya berfungsi sebagai organisasi atau alat, akan tetapi kepemilikan yang sesungguhnya harus ditangan rakyat.

Penulis : Bung Andre, salah satu Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Ig/Twitter : @dresone


0 comments:

Posting Komentar