Foto: Istimewa
|
Sebuah
catatan terbesar bagi negeri ini memiliki tokoh hebat dan bijaksana terhadap
rakyatnya. Sosok itu ialah Bung Karno, bapak proklamator RI. Memasuki masa dewasanya Bung
Karno menghabiskan waktunya dengan buku-buku. Ia mengenal marxisme sejak berusia 17 tahun. Pada saat itu beliau di
jejali oleh sang gurunya yaitu HOS. Tjokro Aminoto dengan bacaan-bacaan kiri.
Salah
satu ciri khas yang menjadi pembeda antara Bung Karno dengan politisi saat ini
adalah penguasaanya dalam teori-teori politik.
Ia bukan seorang politisi
karbitan atau dari politisi keturunan. Ia juga bukan politisi ngawur-awuran,
yang landasan tindakannya tidak didasarkan sebuah panduan yang jernih dan
solid. Sebaliknya, seluruh landasan
tindakan politik dari Bung Karno merupakan refleksi atas kondisi sosial pada
masanya, dan semua itu di tuangkan dalam catatan-catatannya dan dalam pidatonya
yang menggebu-gebu. Salah satu yang mempengaruhi sumber pemikiran realitas Bung
Karno dengan lebih mendalam dan utuh yakni marxisme.
Hal
tersebut diakuinya sendiri pada sebuah koran pada tahun 1941,
ia menyampaikan bahwa “teori marxisme adalah teori-teori yang saya anggap
kompeten dalam memecahkan permasalahan kelas-kelas politik, dan kelas-kelas
kemasyarakatan”. Jadi Bung Karno adalah seseosok manusia pergerakan dengan
bersenjata marxisme.
Bagi
saya sendiri berpendapat, hal tersebut tidak berlebihan bahwa marxisme telah
berjasa besar di kehidupan Bung Karno ini. Sebab, dengan adanya marxisme yang
tumbuh di dalam
kehidupan Bung Karno, ia menjadi tidak rasis dengan kolonialisme, sebagai
utaraan ekspresi berkulit putih. Dia sadar bahwa adanya kolonialisme adalah
konsekuensi dari adanya kapitalisme yang membutuhkan sumber bahan baku,
menghabiskan tatanan negeri, tenaga kerja murah, penjualan di pasar menjadi
mahal, dan mengakomodasi lahan baru sebagai prasyarat keberlanjutan dari prose
akumulasi sistem kapital.
Tidak
lepas dari Bung Karno adalah sesosok
yang memeluk nasionalisme sebelum jauh-jauh dari chauvuinisme dan fasisme.
Karena Bung Karno bercampur dengan nasionalisme, ia memiliki jiwa sangat progresif.
Bisa dikatakan, ia adalah nasionalisme kiri, karena selalu mengedepankan
cita-cita kesejahteraan masyarakat dan kelas proletar sebagai tujuan utamanya.
Pada
tahun 1958 Bung Karno mencetuskan kolaborasi yang memunculkan sebuah pemikiran
marxis namun ala-ala indonesia yakni Marhaenisme. Marhaenisme itu sendiri
diambil dari nama petani di daerah bandung, Bung Karno menemukan Marhaenisme
pada saat melakukan riset di bandung selatan pada tahun 1921. Bung Karno
menyebutkan bahwa marhaenisme sebagai marxisme yang dapat di berlakukan, dan di
cocokan di indonesia.
Tentu
saja yang menjadi pertanyaan apakah ada kaitannya yang dicocokkan antara
marxisme dengan keadaan indonesia? Sebagai seorang pemarxis, Bung Karno
menganalisa dengan memakai kelas
sosial. Menurut bacaan Bung Karno, selalu ada kelas sosial yang memainkan tugas
sejarah untuk mengubah relasi produksi agar sejalan dengan tenaga-tenaga
pekerja produktif. Kalo di eropa tugas sejarah yakni proletar. Namun masyarakat
indonesia berbeda, kendati masyarakat proletarnya sudah ada, seperti para
pekerja di pertambangan. Tetapi komoditas jumlahnya masih kecil, masyarakat
indonesia lebih dominan para pemilik produksi kecil, perdagangan kecil,
pertanian keci, dan usaha kecil. Kehidupan mereka sangat sengsara dan bisa
dikatakan sebagai masyarakat tertindas.
Sejalan
dengan keadan tertindas itu, proletar berbeda dengan
marhaen, proletar adalah terminologi yang dikembangkan oleh marx untuk
menjelaskan perkembangan kapitalisme di Eropa. Sedangkan marhaen mereka yang
memiliki alat produksi kecil, yang tidak menyewa, di kerjakan oleh keluarganya,
dan hasil upah produksinya untuk menghidupi kehidupan keluarganya.
Cita-cita
marhaenisme itu sendiri memperkuat dan mendorong para buruh dan kaum miskin
lainnya, tentunya untuk menggulingkan sistem kapitalisme dan imperialisme,
sebabnya sistem kedua tersebut telah menindas rakyat jelata. Pada tanggal 17
agustus 1946 dalam pidatonya Bung Karno menyatakan bahwa Revolusi Indonesia
yang bergejolak pada tahun 1945 bermuara pada Sosialisme Indonesia. Esensi dari
Sosialisme itu sendiri adalah kesejahteraan sosial dan kemakmuran bagi setiap
orang. Sebagai prasyarat, harus ada kepemilikan pabrik yang kolektif, harus ada
industrialistik yang kolektif, ada produksi yang kolektif, dan harus ada
distributif yang kolektif.
Selain
itu Bung Karno menegaskan bahwasannya “Sosialisme Indonesia sebagai hari depan,
revolusi indonesia bukan semata-mata ide ciptaan seseorang (dalam satu malam
tidak tidur), juga bukanlah barang yang diimpor dari luar negeri lalu kita bisa
menikmati, atau hal paksaan dari masyarakat luar indonesia. Akan tetapi, suatu
perlawanan penentangan daripada kaum tertekan. Suatu kesadaran sosial yang
ditimbulkan oleh masyarakat indonesia sendiri, dan sebuah suatu keharusan dari
sejarah. Dengan demikian, sosialisme menjadi patokan masyarakat indonesia
dengan tradisi progresif yang melekat dan mengakar ditubuh masyarakat indonesia
yakni gotong royong.
Untuk
mewujudkan Sosialisme Indonesia, Bung Karno belajar dari revolusi perancis.
Pada masa itu, kaum borjuis menarik kaum proletar dan kaum tani dalam
persekutuan dibawah slogan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan untuk menumbangkan
kekuasaan feodalisme. Begitu kekuasaan feodal
tumbang, kaum borjuis membangun kekuasaannya sendiri dengan menyingkirkan kaum proletar dan
kaum miskin lainnya. Bung Karno
mewanti-wanti betul kejadian revolusi perancis tidak
terulang dalam revolusi indonesia. Oleh karenanya, dalam perjungan mendatangkan
kemerdekaannya pada tahun 1945, kaum marhaen harus tetap menjaganya supaya
tidak kena getahnya, akan tetapi kaum borjuis atau feodal yang memakan buahnya.
Demikian
seorang Bung Karno membuat 2 (dua) gagasan terbesarnya yaitu Sosio-Nasionalisme
dan Sosio-Demokrasi.
Sosio nasionalisme adalah nasionalisme yang berpihak
terhadap massa-rakyat. Sosio-nasionalisme
menolak kapitalisme dan feodalisme. Sosio-nasionalisme
mencita-citakan sebuah masyrakat yang di dalamnya tidak ada penindasan dan
eksploitasi oleh suatu kelas terhadap kelas tertentu. Secara harfiah sosio-nasionalisme
yang mengkhendaki masyarakat tanpa kelas.
Dalam
capaiannya Sosio-nasionalisme menawarkan prinsip beberapa hal. Pertama, Sosio-nasionalisme politik dan Sosio-nasionalisme ekonomi berdikari. Sosio-nasionalisme
politik nasional dan berdaulat menjamin penyelenggaraan kekuasaan politik
terhadap negara republik indonesia tidak di recoki. Dan Sosio-nasionalisme
ekonomi berdikari, memastikan kedaulatan negara terhadap seluruh kekayaan
ekonomi sosial. Kedua, Sosio-nasionalisme
menempatkan kemerdekaan sebagai jembatan emas untuk mencapai cita-cita
masyarakat maupun negara untuk yang lebih tinggi, yakni masyarakat adil dan
makmur. Ketiga, mengolaborasikan dalam semangat kebangsaan dan kemanusiaan.
Demikian Sosio-nasionalisme mencegah terjadinya nasionalisme yang sempit.
Selain itu sosionalime menganggap perjuangan emansipasi nasional tidak
terpisahkan dalam perjuangan bangsa-bangsa diseluruh dunia untuk mewujudkan
bangsa yang adil dan beradab.
Kemudian
dalam sosio-demokrasi, yakni antitesa dari demokrasi parlementer yang
dihasilkan oleh revolusi perancis. Sosio-demokrasi juga menyatakan
keberpihakan, yakni kepada rakyat marhaen. Secara harfiah, sosio-demokrasi
berarti demokrasi masyarakat atau demokrasi massa-rakyat. Karena keberpihakan sosio-demokrasi
tersebut menolak kapitalisme dan feodalisme. Yang menjadi pertanyaan apa
hubungan sosio-demokrasi dengan cita-cita marhaenisme, yang mewujudkan
masyarakat adil dan makmur?
Dalam
prinsipnya sosio-demokrasi menawarkan beberapa hal. Pertama, sosio-demokrasi mengidamkan kekuasaan politik ditangan
rakyat marhaen. Bentuk konkretnya yakni negara yang berisikan rakyat, seluruh urusan
ekonomi di pegang oleh rakyat, dengan rakyat dan untuk rakyat. Kedua, sosio-demokrasi mendorong
kepemilikian sosial terhadap alat-alat produksi dan sumber daya ekonomi. Ini
adalah sebuah langkah untuk menentukan demokrasi ekonomi, maka dengan di
lapangan politik dan budaya menjadi sangat mungkin. Oleh karenanya, ekonomi
pangkal dari sumber segala bagi kehidupan politik dan sosial budaya. Ketiga, menyerahkan urusan ekonomi dan
politik di tangan rakyat. Sosio-demokrasi menghilangkan pemisahan antar ekonomi
dan politk yang lazim digunakan pada sistem kapitalisme. Untuk pemenuhan
kebutuhan ekonomi tidak dianggap sebagai individualistik namun menjadi urusan
kolektif.
Bung
Karno tidak berhenti dalam gagasanya, ia juga menawarkan gagasannya yakni
strategi politik. Menurutnya, dalam mewujudkan Sosialisme Indonesia revolusi harus
ditempuh menggunakan 2 (dua) fase yakni fase nasional demokratis dan fase
sosialis. Dalam nasionalis
demokratis kita akan mendirikan negara yang merdeka dan demokratis, sedangkan
dalam fase sosialisme kita akan mendirikan sosialisme (gotong royong). Dalam fase nasionalis demokratis kita akan mengakhiri
penindasan sosial dan menghancurkan sisa-sisa feodalisme. Tentunya perjuangan
kita dalam nasionalis demokratis untuk menghancurkan kolonialisme di lapangan
politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Dalam
fase nasionalis demokratis, untuk menyiapkan syarat-syarat fase selanjutnya
yakni revolusi sosialis. Syarat-syarat
tersebut antara lain yakni, mencerdaskan kehidupan bangsa, mendorong demokrasi
seluas-luasnya, dan membangun kepribadian mental sebuah bangsa. Dengan demikian,
revolusi sosialisme yang mengarah pada perwujudan sosialis indonesia yang tidak
ada lagi kapitalisme. Salah satu ciri poin utama dalam sosialisme adalah
kepemilikan sosial terhadap alat produksi. Dan seperti yang dikatakan oleh Bung
Karno, negara hanya berfungsi sebagai organisasi atau alat, akan tetapi
kepemilikan yang sesungguhnya harus ditangan rakyat.
Penulis : Bung Andre, salah satu Kader
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Ig/Twitter : @dresone
0 comments:
Posting Komentar