Kamis, 27 Februari 2014

Pendidikan Sebagai Proses Pemerdekaan

Pendidikan Sebagai Proses Pemerdekaan

Seiring berjalannya waktu, pendidikan di Indonesia mengalami berbagai peristiwa dari masa ke masa sesuai dengan rezim yang memerintah. Di masa orde lama pendidikan diarahkan ke arah sosialis. Dimana pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat, tanpa memandang kelas atau status sosial. Di masa orde baru pendidikan lebih kepada alat pembenaran bagi kepentingan penguasa dan kroni-kroninya. Dunia kampus pun dibungkam dan dipasung kreativitasnya agar tidak bersuara lantang dan membahayakan para penguasa dan kroni-kroninya. Di masa pasca reformasi nampaknya pendidikan belum beranjak dari keterpurukan. Pendidikan justru diarahkan menuju pendidikan yang komersialis. Pendidikan dianggap sebagai produk kapitalis yang diharapkan mampu memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi para pemilik modal.
Doc. Pribadi
Dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) yang menetapkan “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Pergeseran yang terjadi pada pendidikan era reformasi adalah hubungan negara dan masyarakat mengalami perubahan cukup besar, serta telah menyimpang dari ketentuan konstitusi. Karena pengaruh globalisasi yang ditunggangi oleh kepentingan pasar, berakibat pendidikan bukan lagi sebagai upaya mecerdaskan bangsa atau proses pemerdekaan manusia, tetapi mulai bergeser menuju komodikasi pasar.
Mengacu pada ketetapan konstitusi diatas, semakin jelas bahwa negara seharusnya bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan bagi setiap warganya. Jadi, seharusnya pendidikan untuk semua Education for all.  Namun, pada realitanya justru pendidikan lebih terlihat komersil, biaya pendidikan yang semakin mahal berakibat pada semakin sulitnya pendidikan dijangkau oleh semua orang. Ditambah lagi dengan kondisi dalam pembelajaran di lembaga-lembaga sekolah maupun perkuliahan dirasa juga kurang mencerminkan pendidikan sebagai alat pencerdasan maupun pemerdekaan.
Metode pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan sekarang, Justru lebih berorientasi pada pendidikan keahlian saja, yang hanya fokus dalam mempersiapkan para lulusan yang siap kerja dalam dunia kerjanya kelak. Ini akan berdampak pada pola pikir peserta didik yang semakin pragmatis dan instan. Peserta didik akan terfokus hanya pada bidang mereka pelajari dan kecenderungan orientasi pada  sertifikat atau ijazah yang kelak diyakini bisa menghantarkan pada dunia kerjanya. Secara tidak langsung sikap apatis akan terbentuk dalam karakter peserta didik. Sikap acuh yang mendasari karakter peserta didik ini, akan sangat fatal bagi perkembangan masyarakat menuju kesejahteraan.
Di balik derasnya arus globalisasi yang ditumpangi kapitalisme, akan semakin mengancam semua bidang di negeri ini, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Ancaman yang datang dari luar maupun dalam yang menyerang semua bidang di dalam negeri tidak dapat dibendung melalui gerakan nyata yang dibekali  kekritisan analisa peserta didik, justru akan semakin terperosok , terseret derasnya arus.
Krisis nurani, jatidiri, adalah fakta yang menyelimuti generasi Indonesia hari ini. Lunturnya rasa kemanusiaan, solidaritas sosial, mencintai produk dan budaya sendiri adalah suatu hal yang memprihatinkan dan perlu dibenahi bersama, dalam hal ini perlu ada pembenahan yang serius dalam metode pembelajaran. Ki Hadjar Dewantara berpendapat, “Pendidikan itu berupaya sekuat tenaga menanamkan rasa persaudaraan, persamaan, kesetiakawanan, dan kebersamaan hidup senasib seperjuangan tanpa memandang kelas sosial, baik agama, ras, suku, adat, serta membela bangsa dalam segala bentuk penindasan. Pendidikan pun bermuara guna melahirkan rasa mencintai segala aset bangsa agar dijaga, agar dapat dimanfaatkan bagi kemakmuran bangsa.
Tentunya yang diharapkan adalah pendidikan yang mencerdaskan dan memerdekakan bagi semua warga negara. Tanggung jawab guru mengajar juga tidak hanya semata-mata untuk bekerja mencari nafkah, tetapi juga harus benar-benar mendidik, mengayomi, dan dengan rasa kepedulian demi terciptanya generasi yang kritis dan peduli  akan lingkungannya. Comenius berkata ,”pendidikan yang layak bagi anak didik tidaklah mencekoki berbagai kata-kata, kalimat, dan ide-ide dalam kepala mereka yang diulurkan bersama beragam pengarang, tapi pendidik harus mampu membuka pemahaman mereka terhadap dunia luas sehingga aliran kehidupan bisa jadi mengalir dari pikiran mereka seperti halnya daun, bunga, dan buah yang tumbuh dari kuncup sebuah pohon”.

Pendidikan harus kembali pada hakikat dan fungsinya sebagai alat pencerdas dan pemerdeka bagi semua warga negara, Peran pendidikan jelas sangat penting dalam pembentukan karakter dari generasi ke generasi dan membentuk kesalehan individu, menuju kesalehan sosial. Tugas negara adalah menyelenggarakan pendidikan yang layak dan mudah dijangkau bagi semua warga negara. Dengan tujuan, pendidikan yang akan menjadi dasar pijakan kaki melangkah dalam menapaki kehidupan berbangsa dan bernegara.


1. Penulis adalah Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), 
    Komisariat Sunan Muria 2012-2013
   Ketua 1 Bidang Kaderisasi PC. PMII Kabupaten Kudus (2013-Sekarang)
   Wakil Presiden Mahasiswa FKIP UMK 2011-2012)
   
   

0 comments:

Posting Komentar