Kamis, 05 Juni 2014

Masih Adakah Kejujuran di Negeri Garuda




                                                                Oleh: Syaiful Huda*

Mengutip sebuah ungkapan ““qulil haqqa walau kaana murran” katakanlah kejujuran itu walaupun itu pahit. Ibarat obat, terkadang semakin obat itu pahit, maka semakin manjur untuk menyembuhkan penyakit,inilah pepatah yang pantas menggambarkan sebuah kejujuran,ketika kita sadar akan sebuah kejujuran maka kita akan mendapatkan hasil yang maksimal dari kejujuran tersebut.
Kata kunci etika dan moralitas adalah kejujuran. Jujur untuk mengungkapkan apa adanya tanpa harus menutupinya oleh alasan apapun, termasuk alasan dan ketakutan akan rasa malu karena harus menanggung resiko dari kejujuran. Satu diantara sekian resiko kejujuran adalah menerima kenyataan “pahit” yang harus ditanggung oleh para pelaku kejujuran. Tidak berarti bahwa setiap kejujuran itu harus dibayar dengan harga “pahit”, banyak orang kemudian dimuliakan dan mendapatkan tempat terhormat karena kejujurannya.
Doc. Pribadi
Terkadang, demi status sosial, gengsi dan ego maka sebagian orang mencari jalan pintas untuk lebih memilih berbohong daripada mengungkapkan sebuah kejujuran. Jujur sangat identik dengan kebenaran. Mengungkapkan kejujuran sama halnya mengungkapkan kebenaran. Sebaliknya, kebohongan atau dusta itu identik dengan bermuka dua ibarat pepatah, “musang berbulu domba”.

Ketika dihadapkan pilihan antara jujur atau prestasi, secara pragmatis pilihannya adalah prestasi. Mengapa ? karena dengan prestasi seseorang punya “status sosial”, pujian sebagai siswa terbaik walau harus nyontek, punya rumah mewah dari hasil ngemplang pajak, seakan keluarga bahagia walau hidup dengan selingkuh, gelar doktor hingga professor dengan cara plagiat. Semua itu seakan prestasi dan diperoleh dengan cara mengabaikan kejujuran.
Pudarnya pesona kejujuran demi prestasi berbalut dusta, tentu menjadi aib bagi dunia pendidikan. Salah satu pepatah arab menyebutkan “al-maru’ makhbu’un tahta lisanihi” artinya pribadi seseorang itu akan tampak apabila ia berbicara, apabila terucap perkataan yang baik dari lisannya maka baiklah ia, begitu pula sebaliknya.
Refleksi terhadap realitas masyarakat pada saat ini, dimana begitu mudahnya mereka mengobral janji dan perkataan, tanpa memahami makna dari sebuah perkataan. Manusia pada saat ini berlomba-lomba dalam mencapai kebutuhan duniawinya dengan menempuh berbagai macam cara, termasuk diantaranya dengan jalan berdusta. Seorang wartawan misalnya, yang menyebarkan berita yang tidak benar alias kabar dusta, dengan tujuan beritanya laku dikonsumsi khalayak ramai. Begitu juga dengan seorang politikus yang tak henti-hentinya mengobral janji-janji dustanya guna menarik simpati dan dukungan dari masyarakat, atau bahkan memfitnah guna menjatuhkan lawan politiknya. Begitu juga halnya dengan pedagang yang bermain curang dalam takarannya, yang kemudian bermain harga hanya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Seorang ahli hikmah mengatakan: “perkataan orang berakal bermula dari hatinya, sedang perkataan orang yang jahil berawal dari lisannya dan berbicara sesuka hatinya”. Artinya, orang cerdas tentulah akan berfikir terdahulu dalam berbicara, dan sesuai dengan kata hatinya, karena fitrah dari hati manusia adalah kebajikan. Sebaliknya orang yang bodoh itu tidak berfikir dalam berbicara sehingga perkataan yang keluar dari mulutnya hanya omong kosong belaka. Simpulannya adalah hanya orang bodoh yang berkata dusta, sedangkan orang yang menyadari kecerdasannya tentu adalah orang-orang yang jujur.
Ungkapan bijak lainnya mengisyaratkan bahwa “Apabila engkau duduk bersama orang yang bodoh maka diamlah, karena diammu akan menambah kesabaran, sedangkan apabila engkau duduk bersama orang berilmu maka bicaralah, karena bicaramu akan mendatangkan ilmu”. Sebagai seorang muslim atau orang beragama, tentu kita harus bisa memposisikan diri, ada kalanya kita harus diam, dan ada kalanya pula kita harus berbicara “likulli maqamin maqalun wa likulli maqalin maqamun” begitulah pepatah arab mengatakan.
Kejujuran sering diibaratkan sebagai mata uang yang akan berlaku dimanapun tempat, yang tidak terbatasi oleh ruang, wilayah, Negara bahkan oleh waktu, karena bernilai dan memang dibutuhkan. Kejujuran...sama halnya kebenaran... acap kali sering terdesak oleh kuatnya ambisi kekuasaan dan pengaruh duniawi, namun dapat diyakini bahwa kejujuran dan kebenaran itu tidak akan pernah dapat dimusnahkan/termusnahkan. Bahkan orang yang berbuat salah dan dosa sekalipun akan dianggap benar, karena kejujurannya mau mengakui semua kesalahan yang diperbuat.
Orang yang tidak jujur bahwa dirinya awam... maka ia tidak akan pernah mendapatkan hidayah, untuk sadar dan mau belajar sehingga ia menjadi pandai.
Orang yang tidak jujur bahwa dirinya masih lemah... maka ia tidak akan mendapat hidayah sehingga ia tidak pernah berupaya untuk menjadikan dirinya lebih kuat.
Orang yang tidak jujur bahwa dirinya telah berbuat salah... hanya untuk menutupi ambisi dan kekuasaan duniawi..., maka selamanya ia tidak akan pernah memperbaiki diri... dan betapa ruginya orang yang seperti ini.
Lalu bagaimana kalau kita memandang negeri garuda ini,apakah kejujuran akan selalu ada dan masih ada sampai saat ini,masih adakah warga negara yang selalu memegang erat kejujuran tersebut,kalau bangsa garuda ini belum sadar akan pentingnya kejujuran maka negeri ini nantinya akan kelihatan hampa sepi dengan yang namanya kejujuran,kalau para pemimpinnya saja sudah tidak bisa menjaga kejujuran mereka,bagaimana dengan rakyat yang akan dipimpin oleh pemimpin yang seperti itu.
Bagaimana kalau kejujuran dinegeri ini sudah tidak ada artinya,dan tidak ada harganya kalau kita melihat di kenyataan di negeri garuda ini kami para pemuda tetap yakin bahwa masih ada orang-orang yang masih jujur meskipun perbandingannya lebih sedikit bila dibandingkan orang yang tidak jujur.
Masih ingatkah teman-teman dengan kisah seorang anak dari jogjakarta yang kejujurannya bisa dikatakan tidak dihargai oleh bangsa ini,ada salah satu anak yang dia berani mengatakan jujur akan sebuah perbuatan kecurangan yang dilakukan oleh guru dan teman-temannya saat mengerjakan ujian nasional,dia berusaha untuk berkata jujur tapi kejujurannya malah membuat dia dikucilkan oleh para guru dan tetangganya dan dibenci para teman-temannya,seolah-olah dari kisah tersebut bangsa ini seakan-akan tidak peduli lagi dengan yang namanya kejujuran.
Kalau perilaku jujur dinegeri ini sudah tidak ada yang menghargai,maka orang –orang yang seharusnya jujur pasti akan canggung berbuat kejujuran dinegeri ini. Krisis multidimensi melanda negeri kita ini hingga terpuruk berat dan kehilangan pamor sebagai negara yang tertib, aman, makmur dan menyejahterakan rakyatnya berkat kejujurnnya.  Virus pragmatisme jaman rusak menyebar luas dan merata sehingga melahirkan pekerti-pekerti buruk anak bangsa:
1. Nyadhong, merupakan karakter peminta-minta (pengemis) yang kemudian melahirkan budaya suap di segala aspek kehidupan.
2. Nyolong, karakter suka mencuri yang melahirkan budaya korup.
3. Nggemblong, karakter melengket (ngathok) kepada pihak yang berkuasa atau berduit sehingga melahirkan budaya centeng dan hilangnya kontrol sosial.
4. Nggarong, karakter suka merampas harta orang lain termasuk harta negara sehingga melahirkan ’korupsi berjama’ah’.
5. Ndomblong, karakter bengong kehilangan akal dan kesadaran.  Karakter inilah yang melahirkan sikap apatisme masal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kelima pekerti buruk tersebut tertengarai ‘ada’ dan ‘merata’ pada saat ini di tengah masyarakat kita.  Maka sangat merusak perikehidupan bangsa dan bisa menjadikan kita ‘gagal’ bernegara.  Suatu kemungkinan yang jelas kita semua tidak menginginkannya.  Maka oleh karena itu, kita yang merasa sebagai bangsa Indonesia, harus tergerak hati dan tumbuh semangat juang kita untuk mengatasi ‘bosah-baseh’-nya tata kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat tersebut.
Kejujuran haruslah tertanam sejak dini,jika sejak dini kita sudah sadar akan sikap kejujuran maka negeri ini akan semakin lebih baik lagi,karena kami masih yakin dengan idealita pemuda saat ini masih bisa kita rubah menjadi lebih baik lagi,awalilah kejujuran mulai dari diri kita dan mulailah dari yang terkecil.


                                                          * Penulis adalah Pengurus Rayon Ki Hadjar Dewantara PMII Komisariat Sunan Muria UMK 
dan Penggagas INMA (insan mulia) training center.

0 comments:

Posting Komentar