Mengutip sebuah ungkapan ““qulil haqqa walau kaana
murran” katakanlah kejujuran itu walaupun itu pahit. Ibarat obat, terkadang
semakin obat itu pahit, maka semakin manjur untuk menyembuhkan penyakit,inilah
pepatah yang pantas menggambarkan sebuah kejujuran,ketika kita sadar akan
sebuah kejujuran maka kita akan mendapatkan hasil yang maksimal dari kejujuran
tersebut.
Kata kunci etika dan moralitas adalah kejujuran. Jujur
untuk mengungkapkan apa adanya tanpa harus menutupinya oleh alasan apapun,
termasuk alasan dan ketakutan akan rasa malu karena harus menanggung resiko
dari kejujuran. Satu diantara sekian resiko kejujuran adalah menerima kenyataan
“pahit” yang harus ditanggung oleh para pelaku kejujuran. Tidak berarti bahwa
setiap kejujuran itu harus dibayar dengan harga “pahit”, banyak orang kemudian
dimuliakan dan mendapatkan tempat terhormat karena kejujurannya.
Doc. Pribadi |
Terkadang, demi status sosial, gengsi dan ego maka
sebagian orang mencari jalan pintas untuk lebih memilih berbohong daripada
mengungkapkan sebuah kejujuran. Jujur sangat identik dengan kebenaran.
Mengungkapkan kejujuran sama halnya mengungkapkan kebenaran. Sebaliknya,
kebohongan atau dusta itu identik dengan bermuka dua ibarat pepatah, “musang
berbulu domba”.
Ketika dihadapkan pilihan antara jujur atau prestasi,
secara pragmatis pilihannya adalah prestasi. Mengapa ? karena dengan prestasi
seseorang punya “status sosial”, pujian sebagai siswa terbaik walau harus
nyontek, punya rumah mewah dari hasil ngemplang pajak, seakan keluarga bahagia
walau hidup dengan selingkuh, gelar doktor hingga professor dengan cara plagiat.
Semua itu seakan prestasi dan diperoleh dengan cara mengabaikan kejujuran.
Pudarnya pesona kejujuran demi prestasi berbalut
dusta, tentu menjadi aib bagi dunia pendidikan. Salah satu pepatah arab
menyebutkan “al-maru’ makhbu’un tahta lisanihi” artinya pribadi
seseorang itu akan tampak apabila ia berbicara, apabila terucap perkataan yang
baik dari lisannya maka baiklah ia, begitu pula sebaliknya.
Refleksi terhadap realitas masyarakat pada saat ini,
dimana begitu mudahnya mereka mengobral janji dan perkataan, tanpa memahami
makna dari sebuah perkataan. Manusia pada saat ini berlomba-lomba dalam
mencapai kebutuhan duniawinya dengan menempuh berbagai macam cara, termasuk
diantaranya dengan jalan berdusta. Seorang wartawan misalnya, yang menyebarkan
berita yang tidak benar alias kabar dusta, dengan tujuan beritanya laku dikonsumsi
khalayak ramai. Begitu juga dengan seorang politikus yang tak henti-hentinya
mengobral janji-janji dustanya guna menarik simpati dan dukungan dari
masyarakat, atau bahkan memfitnah guna menjatuhkan lawan politiknya. Begitu
juga halnya dengan pedagang yang bermain curang dalam takarannya, yang kemudian
bermain harga hanya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Seorang ahli hikmah mengatakan: “perkataan orang
berakal bermula dari hatinya, sedang perkataan orang yang jahil berawal dari
lisannya dan berbicara sesuka hatinya”. Artinya, orang cerdas tentulah akan
berfikir terdahulu dalam berbicara, dan sesuai dengan kata hatinya, karena
fitrah dari hati manusia adalah kebajikan. Sebaliknya orang yang bodoh itu
tidak berfikir dalam berbicara sehingga perkataan yang keluar dari mulutnya
hanya omong kosong belaka. Simpulannya adalah hanya orang bodoh yang berkata
dusta, sedangkan orang yang menyadari kecerdasannya tentu adalah orang-orang
yang jujur.
Ungkapan bijak lainnya mengisyaratkan bahwa “Apabila
engkau duduk bersama orang yang bodoh maka diamlah, karena diammu akan menambah
kesabaran, sedangkan apabila engkau duduk bersama orang berilmu maka bicaralah,
karena bicaramu akan mendatangkan ilmu”. Sebagai seorang muslim atau orang
beragama, tentu kita harus bisa memposisikan diri, ada kalanya kita harus diam,
dan ada kalanya pula kita harus berbicara “likulli maqamin maqalun wa
likulli maqalin maqamun” begitulah pepatah arab mengatakan.
Kejujuran sering diibaratkan sebagai mata
uang yang akan berlaku dimanapun tempat, yang tidak terbatasi oleh ruang,
wilayah, Negara bahkan oleh waktu, karena bernilai dan memang dibutuhkan.
Kejujuran...sama halnya kebenaran... acap kali sering terdesak oleh kuatnya
ambisi kekuasaan dan pengaruh duniawi, namun dapat diyakini bahwa kejujuran dan
kebenaran itu tidak akan pernah dapat dimusnahkan/termusnahkan. Bahkan orang
yang berbuat salah dan dosa sekalipun akan dianggap benar, karena kejujurannya
mau mengakui semua kesalahan yang diperbuat.
Orang yang tidak jujur bahwa dirinya
awam... maka ia tidak akan pernah mendapatkan hidayah, untuk sadar dan mau
belajar sehingga ia menjadi pandai.
Orang yang tidak jujur bahwa dirinya masih
lemah... maka ia tidak akan mendapat hidayah sehingga ia tidak pernah berupaya
untuk menjadikan dirinya lebih kuat.
Orang yang tidak jujur bahwa dirinya telah
berbuat salah... hanya untuk menutupi ambisi dan kekuasaan duniawi..., maka
selamanya ia tidak akan pernah memperbaiki diri... dan betapa ruginya orang
yang seperti ini.
Lalu bagaimana kalau kita memandang negeri
garuda ini,apakah kejujuran akan selalu ada dan masih ada sampai saat ini,masih
adakah warga negara yang selalu memegang erat kejujuran tersebut,kalau bangsa
garuda ini belum sadar akan pentingnya kejujuran maka negeri ini nantinya akan
kelihatan hampa sepi dengan yang namanya kejujuran,kalau para pemimpinnya saja
sudah tidak bisa menjaga kejujuran mereka,bagaimana dengan rakyat yang akan
dipimpin oleh pemimpin yang seperti itu.
Bagaimana kalau kejujuran dinegeri ini
sudah tidak ada artinya,dan tidak ada harganya kalau kita melihat di kenyataan
di negeri garuda ini kami para pemuda tetap yakin bahwa masih ada orang-orang
yang masih jujur meskipun perbandingannya lebih sedikit bila dibandingkan orang
yang tidak jujur.
Masih ingatkah teman-teman dengan kisah
seorang anak dari jogjakarta yang kejujurannya bisa dikatakan tidak dihargai
oleh bangsa ini,ada salah satu anak yang dia berani mengatakan jujur akan
sebuah perbuatan kecurangan yang dilakukan oleh guru dan teman-temannya saat
mengerjakan ujian nasional,dia berusaha untuk berkata jujur tapi kejujurannya
malah membuat dia dikucilkan oleh para guru dan tetangganya dan dibenci para
teman-temannya,seolah-olah dari kisah tersebut bangsa ini seakan-akan tidak
peduli lagi dengan yang namanya kejujuran.
Kalau perilaku jujur dinegeri ini sudah tidak ada yang
menghargai,maka orang –orang yang seharusnya jujur pasti akan canggung berbuat
kejujuran dinegeri ini. Krisis
multidimensi melanda negeri kita ini hingga terpuruk berat dan kehilangan pamor
sebagai negara yang tertib, aman, makmur dan menyejahterakan rakyatnya berkat
kejujurnnya. Virus pragmatisme jaman rusak menyebar luas dan merata
sehingga melahirkan pekerti-pekerti buruk anak bangsa:
1. Nyadhong,
merupakan karakter peminta-minta (pengemis) yang kemudian melahirkan budaya
suap di segala aspek kehidupan.
2. Nyolong, karakter
suka mencuri yang melahirkan budaya korup.
3. Nggemblong, karakter
melengket (ngathok) kepada pihak yang berkuasa atau berduit sehingga melahirkan
budaya centeng dan hilangnya kontrol sosial.
4. Nggarong, karakter
suka merampas harta orang lain termasuk harta negara sehingga melahirkan
’korupsi berjama’ah’.
5. Ndomblong, karakter
bengong kehilangan akal dan kesadaran. Karakter inilah yang melahirkan
sikap apatisme masal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kelima
pekerti buruk tersebut tertengarai ‘ada’ dan ‘merata’ pada saat ini di tengah
masyarakat kita. Maka sangat merusak perikehidupan bangsa dan bisa
menjadikan kita ‘gagal’ bernegara. Suatu kemungkinan yang jelas kita
semua tidak menginginkannya. Maka oleh karena itu, kita yang merasa
sebagai bangsa Indonesia, harus tergerak hati dan tumbuh semangat juang kita
untuk mengatasi ‘bosah-baseh’-nya tata kehidupan bernegara, berbangsa dan
bermasyarakat tersebut.
Kejujuran
haruslah tertanam sejak dini,jika sejak dini kita sudah sadar akan sikap
kejujuran maka negeri ini akan semakin lebih baik lagi,karena kami masih yakin
dengan idealita pemuda saat ini masih bisa kita rubah menjadi lebih baik
lagi,awalilah kejujuran mulai dari diri kita dan mulailah dari yang terkecil.
* Penulis adalah Pengurus Rayon Ki Hadjar Dewantara PMII Komisariat Sunan Muria UMK
dan Penggagas
INMA (insan mulia) training center.
0 comments:
Posting Komentar