Minggu, 07 Februari 2021

MENJADI SAMA DI ATAS PERBEDAAN

 



Bukankah memiliki lebih dari satu komitmen untuk menyikapi beberapa hal yang berbeda dapat menambah kecakapan seseorang? Terkadang seseorang memilih untuk tidak berkomitmen pada dua hal yang berbeda. Kejadian ini disebabkan seseorang takut tidak diterima, hanya karena dia memiliki komitmen bertolak belakang.

Komitmen bukan hanya tentang tanggung jawab dan apa saja kewajiban yang harus ia kerjakan. Namun juga apa yang bisa dipelajari dari setiap komitmen yang ia pegang.

Harusnya orang Indonesia tidak bisa memungkiri bahwa ia hidup di negara yang kaya akan keberagaman. Namun kebanyakan orang Indonesia menyalah artikan keberagaman itu sebagai sebuah persaingan. Artinya kelompok lain tidak boleh lebih baik dari kelompoknya. 

Sebuah persaingan bisa berdampak positif, seluruh orang dapat berlomba-lomba menunjukkan hal terbaik yang ada pada dirinya. Namun akhir-akhir ini perlombaan itu menjadi sarang keegoisan yang cenderung mengakibatkan persaingan tidak sehat hanya karena politik dan kekuasaan. Akibatnya mereka lupa bagaimana cara menghargai kelompok lain. 

Isu-isu perpecahan yang makin marak di Indonesia ternyata juga terjadi di dunia perkuliahan yang notabene dipenuhi oleh kaum intelektual. Nepotisme ternyata masih menjadi budaya yang belum bisa hilang bahkan setelah muncul kebudayaan baru bernama kolaborasi.

Perang politik untuk merebutkan kekuasaan seolah menjadi hal wajib yang ada pada kehidupan organisasi di dunia perkuliahan. Mereka saling menyalahkan satu sama lain bahkan cenderung menjelek-jelekkan lawannya agar terlihat paling sempurna didepan umum. Mana makna intelektual yang lekat ada pada diri mahasiswa?

Masihkah ada Pancasila diantara kita? Pancasila mana yang katanya sebagai pandangan hidup bangsa? Apakah kita lupa dengan nilai-nilai yang kita terima saat berada pada bangku pembelajaran? Atau mungkin kita perlu duduk di bangku itu lagi untuk mengingat nilai-nilai yang sudah lama terkubur oleh keserakahan dan keegoisan diri yang semakin menjadi-jadi?

Sungguh, harusnya kita malu dengan anak-anak yang ada di bangku Sekolah Dasar. Karena setiap pagi mereka masih melafalkan Pancasila dan menempatkan Pancasila pada sanubarinya. 

Sesungguhnya kita memiliki tujuan yang sama. Dan harusnya kita tidak perlu memperebutkan siapa yang paling memiliki sumbangsih dalam memajukan Indonesia pada umumnya serta Organisasi perkuliahan pada khususnya.

Kita ini sama, sama-sama memiliki sumbangsih demi memajukan Indonesia. Jadi untuk apa saling menunjukkan dirinya yang terbaik jika kita bisa berjalan selaras, saling menghormati, serta bersama-sama mencapai cita-cita yang sama.

Akan lebih mudah jika mencapai tujuan tertentu dengan bergerak bersama tanpa memiliki pandangan “Mereka lebih buruk”. Hai… bagaimana kita bisa mengetahui kita lebih baik dari yang  lain jika untuk mendekatkan diri, saling bertukar pikiran, dan saling mengenal saja tidak pernah kita lakukan? 

Hingga semua itu selalu menempatkan manusia pada dua pilihan yang berbeda. Mengapa seseorang selalu dihadapkan pada dua pilihan? Lalu bagaimana jika seseorang itu bisa menjalankan kedua pilihan itu secara bersamaan? Apakah dia berdosa? Tidak, justru dia orang yang mudah berkembang karena dia bisa menjalankan dua pilihan pada dua komitmen yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. 

Perbedaan itu baik jika ada toleransi di antara dua hal yang berbeda. Namun dewasa ini, seseorang bisa dengan mudah mengkafirkan orang lain hanya karena mereka berbeda. Seseorang mudah sekali menganggap orang lain berdosa karena tidak sepaham dengannya. Lucu sekali, kini tugas Tuhan seolah sudah berada ditangan ciptaan-Nya.(*)


Artikel Ditulis oleh: 

Dean, seseorang yang penuh tanya, penuh ambisi, serta suka bercerita tentang semua hal yang meresahkan di dunia. Aktif pada siang hari namun lebih aktif lagi pada malam hari.

 

0 comments:

Posting Komentar