Bukankah memiliki lebih dari satu
komitmen untuk menyikapi beberapa hal yang berbeda dapat menambah kecakapan
seseorang? Terkadang seseorang memilih untuk tidak berkomitmen pada dua hal
yang berbeda. Kejadian ini disebabkan seseorang takut tidak diterima, hanya
karena dia memiliki komitmen bertolak belakang.
Komitmen bukan hanya tentang tanggung jawab
dan apa saja kewajiban yang harus ia kerjakan. Namun juga apa yang bisa
dipelajari dari setiap komitmen yang ia pegang.
Harusnya orang Indonesia tidak bisa
memungkiri bahwa ia hidup di negara yang kaya akan keberagaman. Namun
kebanyakan orang Indonesia menyalah artikan keberagaman itu sebagai sebuah
persaingan. Artinya kelompok lain tidak boleh lebih baik dari kelompoknya.
Sebuah persaingan bisa berdampak positif,
seluruh orang dapat berlomba-lomba menunjukkan hal terbaik yang ada pada
dirinya. Namun akhir-akhir ini perlombaan itu menjadi sarang keegoisan yang
cenderung mengakibatkan persaingan tidak sehat hanya karena politik dan
kekuasaan. Akibatnya mereka lupa bagaimana cara menghargai kelompok lain.
Isu-isu perpecahan yang makin marak di
Indonesia ternyata juga terjadi di dunia perkuliahan yang notabene dipenuhi
oleh kaum intelektual. Nepotisme ternyata masih
menjadi budaya yang belum bisa hilang bahkan setelah muncul kebudayaan baru bernama
kolaborasi.
Perang politik untuk merebutkan kekuasaan
seolah menjadi hal wajib yang ada pada kehidupan organisasi di dunia
perkuliahan. Mereka saling menyalahkan satu sama lain bahkan cenderung
menjelek-jelekkan lawannya agar terlihat paling sempurna didepan umum. Mana makna
intelektual yang lekat ada pada diri mahasiswa?
Masihkah ada Pancasila diantara kita?
Pancasila mana yang katanya sebagai pandangan hidup bangsa? Apakah kita lupa
dengan nilai-nilai yang kita terima saat berada pada bangku pembelajaran? Atau
mungkin kita perlu duduk di bangku itu lagi untuk mengingat nilai-nilai yang
sudah lama terkubur oleh keserakahan dan keegoisan diri yang semakin
menjadi-jadi?
Sungguh, harusnya kita malu dengan
anak-anak yang ada di bangku Sekolah Dasar. Karena setiap pagi mereka masih
melafalkan Pancasila dan menempatkan Pancasila pada sanubarinya.
Sesungguhnya kita memiliki tujuan yang
sama. Dan harusnya kita tidak perlu memperebutkan siapa yang paling memiliki
sumbangsih dalam memajukan Indonesia pada umumnya serta Organisasi perkuliahan
pada khususnya.
Kita ini sama, sama-sama memiliki
sumbangsih demi memajukan Indonesia. Jadi untuk apa saling menunjukkan dirinya
yang terbaik jika kita bisa berjalan selaras, saling menghormati, serta
bersama-sama mencapai cita-cita yang sama.
Akan lebih mudah jika mencapai tujuan
tertentu dengan bergerak bersama tanpa memiliki pandangan “Mereka lebih buruk”.
Hai… bagaimana kita bisa mengetahui kita lebih baik dari yang lain jika untuk mendekatkan diri, saling
bertukar pikiran, dan saling mengenal saja tidak pernah kita lakukan?
Hingga semua itu selalu menempatkan manusia
pada dua pilihan yang berbeda. Mengapa seseorang selalu dihadapkan pada dua
pilihan? Lalu bagaimana jika seseorang itu bisa menjalankan kedua pilihan itu
secara bersamaan? Apakah dia berdosa? Tidak, justru dia orang yang mudah
berkembang karena dia bisa menjalankan dua pilihan pada dua komitmen yang
berbeda dalam waktu yang bersamaan.
Perbedaan itu baik jika ada toleransi
di antara dua hal yang berbeda. Namun dewasa ini, seseorang bisa dengan mudah
mengkafirkan orang lain hanya karena mereka berbeda. Seseorang mudah sekali menganggap
orang lain berdosa karena tidak sepaham dengannya. Lucu sekali, kini tugas
Tuhan seolah sudah berada ditangan ciptaan-Nya.(*)
Artikel Ditulis oleh:
Dean, seseorang yang penuh tanya, penuh ambisi, serta suka bercerita tentang semua hal yang meresahkan di dunia. Aktif pada siang hari namun lebih aktif lagi pada malam hari.
0 comments:
Posting Komentar