Hay… assalamualaikum, pernah nggak kalian berfikir buat apa kita di sekolahin? Tidak ada orang baik selain orang tua kita. Hanya mereka yang tau kebutuhan kita. Merekalah yang paham masa depan kita, iya, masa depan yang dari awal sudah direncanakan dan diagung-agungkan.
Orang tua menaruh harapan besar pada kita. Mereka berharap agar kita menjadi orang yang lebih baik dari mereka. Apapun kondisin mereka, percayalah meraka akan berusaha demi memperjuangkan pendidikan kita. Tanpa kita sadari, itu adalah warisan yang berharga.
Banyak pemuda ingin menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Beruntunglah kalian yang mampu menikmati bangku kuliah. Karena hal tersebut mampu merubah pola fikir dan kehidupan kita, baik di dalam kampus maupun di masyarakat.
Di dalam kampus, mahasiswa yang miskin pura pura kaya karena situasi pergaulan. Sedangkan di masayarakat, mereka dianggap orang yang sempurna dalam pendidikan. Mahasiswa dianggap serba tau, pemuda istimewa di lingkungannya.
Kita tau kuliah tidak hanya tentang nilai dan IPK belaka. Tujuan kuliah juga untuk meningkatkan wawasan, pemahaman, dan skill. Kuliah bagaikan membeli situasi, situasi yang mendorong kita untuk melakukan hal tersebut.
Orang-orang menganggap mahasiswa terbagi menjadi beberapa tipe. Mereka adalah mahasiswa organisatoris, akademis, dan aktivis. Semuanya sama saja, sama-sama menyedihkan. Karena seberapa mentereng prestasi, pengalaman organisasi, atau aktivitas advokasi yang ada di CV yang kamu buat, pada akhirnya kamu akan tetap menjual diri di pasar kerja.
Etsss, jangan gagal faham dulu. Ada hal menarik yang perlu kita bahas, mengingat status kita sebagai mahasiswa. Kalau boleh tau, apakah di kampus kalian menghabiskan waktu sebagai mahasiswa akademisi yang fokus dengan kuliah? Atau sebagai formalitas semata, kuliah, pulang, dan pacaran? Atau mahasiswa organisator, mungkin juga sebagai mahasiswa aktifis?
Entah kenapa sampai sekarang saya masih gagal paham kenapa banyak sekali orang memperdebatkan pertanyaan konyol tersebut. Maksud saya, kenapa sih orang-orang suka sekali membanding-bandingkan, dan merasa label yang satu lebih bagus dari yang lainnya?
Mahasiswa yang pro akademik biasanya akan menjadi Aslab (asisten laboratorium) dan Asdos (Asisten dosen). Mereka lebih senang mengglorifikasi pentingnya mengoleksi nilai A semasa kuliah. Bagi mereka, yang bilang IPK nggak penting itu terlalu malas, jika tidak mau dibilang bego.
Lagian, nilai bagus adalah bukti kalau kita serius dan bertanggung jawab dengan kewajiban menuntut ilmu. Mereka lalu melancarkan pukulan seperti petinju dengan mengatakan “Organisasi buat apa, hah??? Toh kalau IPKmu kecil, boro-boro skillmu dicari di dunia kerja, melamar pekerjaan dengan syarat IPK minimal 3 aja nggak akan bisa!” Mamam noh organisasi.
Mahasiswa organisatoris so called pejabat kampus, mereka senang sekali mengagung-agungkan skill kepemimpinan, komunikasi, dan sosial. Menurut mereka (biasanya sambil mengutip artikel tentang 20 skill yang dibutuhkan perusahaan di dunia kerja) jauh lebih penting dari sekadar mengejar nilai semata.
Kuliah memang nggak hanya nilai T di akedemisi, nggak hanya diajari tentang teori dan pratikum mata kuliah. Sebagai oraganisator, kita dididik untuk menjamin diri sendiri setelah menjadi mahasiswa. Tentang pengalaman, leadership, track record relasi didapatan selama jadi mahasiswa organisator. Meskipun pada kenyataannya hal tersebut banyak sekali menyita pikiran, tenaga, waktu, dan bahkan uang.
Di sebrang jalan, mahasiswa aktivis biasanya mengacungkan jari tengah kepada keduanya. Lalu bilang kalau mahasiswa organisatoris dan akademis ini hanya sekelompok orang egois. Mahasiswa yang lupa akan tugas mereka.
Halo Bung dan Nona, Mahasiswa itu harusnya memikirkan rakyat! Ngapain jadi pejabat kampus? Apa itu pejabat kampus? Humasnya rektorat? Bung dan Nona mengaku seorang akademisi, tapi hanya mencari ilmu untuk dirinya sendiri? Apakah anda merasa terlalu tinggi untuk berguling di lumpur bersama rakyat? “Eh mau ngapain juga guling-guling di lumpur,” egois kalian semua itu!
Ilmu yang diperoleh selama belajar di universitas harusnya disebarkan kepada masyarakat kecil yang tidak sempat mengecap pendidikan. Bukannya malah dipakai memperkaya diri sendiri dengan memilih hidup nyaman dan kerja di korporasi.
“Sekali-kali keluar dong ke jalan! Ilmu nggak cuman bisa di dapatkan di kelas!” Ungkapan yang biasanya dilontarkan mahasiswa aktivis keitka demo. Sementara itu, mahasiswa yang selama kuliahnya cuma kuliah, pulang, ngewibu, dan ketiduran, menonton keributan mereka sambil makan pop corn.
Kenapa saya bilang membanding-bandingkan, dan mencari kegiatan mana yang lebih baik dilakukan di kampus itu konyol. Ya, karena sebenarnya saya tahu kalau mereka itu aslinya sama-sama aja. Sama-sama menghabiskan waktu kuliah dengan cara menyedihkan.
Begini, saya bisa jelaskan. Mahasiswa organisatoris atau pejabat kampus menghabiskan waktu kuliah mereka dengan menggarap berbagai program kerja. Mulai dari acara pengembangan semacam diskusi, workshop, dan seminar, sampai acara senang-senang.
Dalam setahun, kegiatan yang mereka lakukan bisa banyak sekali lho (Supaya bisa minta banyak uang ke rektorat yang pelit, tentu saja). Selama masa kerja itu, mereka harus mau rapat kepanitiaan sampai malam, begadang membuat TOR dan rundown, membuat desain gratisan, hingga wara-wiri ke sana kemari mencari sponsorship.
Lah… ini kan namanya kerja gratisan. Lebih parah dari perburuhan, karena nggak pernah dapat upah. Terus kenapa dong kalian begitu bangga dengan perbudakan modern semacam ini. Eitsss, Yang akademisi jangan ketawa dulu.
Menjadi seorang Aslab/Asdos/Asprak/Aspirin atau apa pun lah itu namanya mungkin terdengar keren. Kamu juga akan banyak dicemburui teman-temanmu karena menjalin hubungan yang sangat dekat dengan dosen sampai-sampai disebut “Anak kesayangan dosen”.
Tapi, kamu tahu sendiri bahwa kamu sebenarnya juga jadi korban perbudakan di jurusan atau prodi. Dan yang lebih mengerikan, kamu bahkan nggak bisa bilang “Tidak” saat diberikan tugas, karena sangat sungkan.
Kenapa sih harus memperlakukan dosen seperti itu? Apa yang ingin kalian tunjukan sampai-sampai mau-maunya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang harusnya bisa dilakukan dosen itu sendiri? Kalian sadar nggak kalau kalian tuh dimanfaatkan?
Dosen-dosen nggak melihat kamu secara setara. Mereka lebih berpikir kalau waktu mereka lebih penting, sementara kamu nggak. Makanya pekerjaan mereka kamu yang melakukan, jadi mereka bisa gosip haha hihi ketika jelas-jelas sebenarnya kamu juga punya banyak tugas lain sebagai mahasiswa. Lalu, diperlakukan seperti itu kamu masih bangga?
Terakhir, mahasiswa aktivis yang mengaku paling peduli dengan rakyat dan kaum yang tertinggal , padahal dirinya sendiri meninggalkan terlalu banyak urusan kampus sampai kuliahnya kedodoran.
Abai pada kampus itu bertentangan dengan amanat rakyat lho. Yang membayar kuliahmu sekian persennya subsidi dari rakyat kan? Kalau kamu terlalu lama di kampus, artinya uang UKTmu yang mahal itu, yang sebagian dari keringat rakyat yang bercucuran itu, dibiarkan menguap begitu saja.
Memang tidak salah jika tidak lulus cepat dan lebih banyak menghabiskan waktu sebat di jalan tidak merugikan orang lain. Tapi, omong kosong jadinya dengan perjuangan yang kamu koar-koarkan, ketika kamu sendiri masih terbelenggu dengan beban kuliah sekian SKS dan skripsi yang tidak pernah kamu jamah lagi.
Kita sebenarnya boleh saja jadi organisatoris, akademis, aktivis, atau jadi tiga-tiganya sekalian. Tapi merasa lebih superior dan mendiskreditkan mahasiswa lain hanya karena memilih jalan yang berbeda adalah hal yang sangat konyol. Apa pun yang kamu lakukan untuk menghabiskan waktu saat menjadi mahasiswa, pada akhirnya kamu akan tetap menjual diri di pasar kerja.
Jika tujuannya hanya pamer, ingin menunjukan kalau “Aku menghabiskan waktu kuliahku dengan lebih berfaedah dari kamu,”seberapa mentereng prestasi, pengalaman organisasi, atau aktivitas advokasi yang ada di CV mu, sama saja tidak ada gunanya.
Itu kan yang ada di kepalamu? Ingatlah, jika kamu benar-benar kuliah untuk tujuan sebenar-benarnya pendidikan, kamu nggak akan sibuk dengan nyinyir apa yang dilakukan oleh mahasiswa lain.
Jika kamu benar-benar belajar saat menjadi mahasiswa, kamu akan lebih banyak berpikir, membaca, berdiskusi, melakukan gerakan-gerakan emansipasi, dan lebih peduli pada pemberdayaan masyarakat di akar rumput. Bukan malah sibuk memikirkan persaingan siapa yang lebih baik di antara mahasiswa satu dan yang lainnya untuk bisa diterima di dunia kerja.(*)
Artikel ditulis oleh:
Mohamad Rifa’i Abidin