Doc. Pribadi |
Tulisan ini saya buat
pada tanggal 25 Desember 2013. Ujung tanduk dari tahun Masehi yang ke-2013 ini
akan berakhir. Berarti pula, satu tahun lebih dua bulan tiga belas hari usia
HMASS (Harokah Mahasiswa Alumni Santri Sidogiri) dari kelahiran deklarasinya. Banyak
hal yang kiranya perlu dibenahi, dievalusi, dan kemudian ditindak-lanjuti
sebagaimana mestinya perjalanan roda organisasi yang tidak boleh berhenti.
Sebab, jika telah dianggap tidak berputar atau tidak lagi bergerak—apalagi
dengan pemberian nama harokah yang berarti pergerakan—sudah dipastikan telah mati dan hanya
tinggal sejarahnya saja. Nah,
tak mungkin jika organisasi ini yang baru berdiri, kok malah dikatakan mati. Sepertinya, sedang
terjadi hal vacum atau sebenarnya sedang berlangsung, hanya saja tidak terdengar
atau semacam tidak peduli dengan eksistensi atau memang benar-benar sudah tidak
ada dari peredarannya?
Diakui atau tidak,
HMASS telah mendapat tanggapan sebagai organisasi yang adem ayem, sekalipun ungkapan itu muncul dari beberapa
orang saja. Hal yang demikian itu sangat bisa dipahami dan harus diakui. Jika
penulis analogikan yang ada kemiripan dengan kasus PKB yang mendapat kritikan
sebagai anak NU yang tidak banyak memberikan kontribusi terhadap NU, kiranya
patut saya paparkan pernyataan Saifullah Ma’shum, Ketua Lembaga Pemenangan
Pemilu DPP PKB, dalam catatan pengantar buku Partai NU Ya PKB, seri tokoh KH. Said Aqil Siradj. Beliau
menyatakan: sebagai organisasi keagamaan besar(NU.pen) dengan jumlah jamaah yang masih
terbelakang, wajar jika muncul harapan terlalu besar dari NU terhadap kekuatan
partai politik, terutama PKB, agar bisa membantu suksesnya program-program NU.
Pun dengan saya yang
juga memiliki cita-cita ideal agar organisasi yang lahir dari karya alumni
sebuah pesantren besar dan berusia lebih 270 tahun ini, menjadi organisasi yang
memang benar-benar bergerak. Namun, dalam kenyataannya, konsepsi se-ideal
apapun, jika kurang—untuk tidak menyatakan ‘tidak’—didukung, baik secara
personal yang memang kala di pesantren tidak terfasilitasi secara masif tentang
ke-organisasian, ataupun struktural organisasi yang asal masang nama, maka
hanya akan menimbulkan ke-mandeg-kan.
Demikian, kiranya yang
saya alami dalam organisasi HMASS Malang pada perjalanan tahun 2013 ini. Namun,
sama sekali saya tidak memiliki rasa pesimis bahwa organisasi ini akan
tenggelam, sirna dari ruang akademik, dan tinggal sejarah. Tidak. Sama sekali
tidak ada rasa minder untuk mengatakan HMASS akan menemui momentumnya suatu
saat nantinya.
Sekalipun, hanya
beberapa rutinitas organisasi telah berlangsung, dihadiri antara pengurus dan
anggota, tidak membuahkan hasil yang kongkrit, setidaknya solidaritas masih
tetap terjaga. Kenyataannya memang demikian. HMASS Malang pada malam Jumat
akhir bulan masih tetap menjalankan pertemuan dengan pembacaan tahlil yang memang sudah menjadi kesepakatan bersama.
Bagi saya, ini menjadi semacam keunikan tersendiri. Sebab, pada pertemuan yang
menyatukan mahasiswa alumni Sidogiri dari UIN, UNISMA, UB (Universitas
Brawijaya), UM (Universitas Negeri Malang), PT Al-Hikam, dan Universitas
Kanjuruhan, memunculkan gairah kesantrian yang bisa saja akan hilang jika saja
tidak sama sekali di-refresh dengan acara semacam itu.
Untuk melaksanakan
acara besar semisal seminar atau bedah buku yang pernah diselenggarakan pada
tahun 2012, kali ini, pada kepengurusan HMASS Malang yang diketuai oleh Mahin
Mufti, Bangkalan, baru tahap untuk merencanakan saja. Untuk selanjutnya, semoga
saja memang bisa terealisasikan sebagai bentuk pengabdian yang diperuntukkan
untuk khalayak umum di dunia akademik, dan khusunya untuk kalangan HMASS
sendiri.
Bagaimanapun, eksistensi
memang diperlukan yang diniati sebagai bentuk pengabdian, bukan untuk mencari
penghargaan atau bahkan untuk diperalat sebagai ‘bahan’ batu loncatan. Sebagai
mana mestinya slogan khidmatan li al-ma’had wan ummah harus tetap tertancap pada
masing-masing pelaku. Wallahu a’lam. [roy]
0 comments:
Posting Komentar