Pagi ini terasa sama. Hanya gelap. Namun tak sunyi.
Aku dapat mendengar suara degup jantungku sendiri, degup nyaman saat tak ada yang menarik. Serta suara lembut Ibu yang bicara berita masa kini. Juga suara sendok teh dan gelas keramik yang beradu mengiringi aroma kopi milik Bapak yang selalu membuatku menebak seperti apa bentuk kepulan asapnya di setiap pagi.
Ya, Pagiku selalu seru. Apalagi jika dia datang.
"Assalamu'alaikum.."
"Waalaikumsalam.. Sinyo sudah datang? Masuk, Nyo.."
Ibuku kerap kali memanggilnya Sinyo, dan akupun begitu. Bukan, bukan dia tokoh dalam buku karya seorang penulis ulung. Hanya nama kecil yang diberikan Ibu padanya. Nyatanya ia hanya hasil silang Jawa-Sunda. Tak ada Belanda. Nama lahirnya Hari Bagaskara. Secerah namanya, sekali bercerita Ibu bilang kalau matanya berbinar dan senyumannya manis. Semanis gendhis, gula Jawa. Kulitnya pun begitu. Ibu bilang rambutnya kemerahan, hasil seharian penuh menemaniku di bawah terik. Pun kaki Sinyo juga panjang. Dia pasti begitu rupawan. Malang betul aku tak pernah melihat.
Aku dan Sinyo sering berjalan kaki ke sekolah. Katanya, Sinyo tak terlalu tertarik berkendara. Hanya sesekali menunggang sepeda besi peninggalan Abahnya dengan aku berada di boncengan belakang sambil memeluk pinggang. Tentu semua itu hanya sebuah dalih karena sebuah permintaan, juga karena sebuah tragedi silam.
Pernah kubilang ingin mendengar suara pasir tersapu sol sepatu pada Sinyo. Dan sampai sekarang, hingga aku fasih dengan suaranya, Sinyo masih turut berjalan kaki menuntunku. Demi aku dapat mendengar apa yang ingin kudengar.
Sudah mungkin sepuluh menit adanya? Aku berjalan dengan Sinyo yang senantiasa bergumam sebuah lagu, acap kali kudengar di radio atau televisi. Sesekali akan ada seseorang yang lewat menyapa, atau sekadar menggoda Sinyo. Saat bosan Sinyo akan bergumam sembari menepuk pelan lenganku sesuai irama, atau paling tidak mengajakku bicara tentang banyak hal. Apapun, yang dia lihat saat menuntunku berjalan kaki. Parahnya, pantat kerbau berkerumun lalat pun sempat dibahasnya.
Saat Sinyo mulai bicara hal aneh, baru aku yang mengajaknya bersua agar dia lupa.
"Nyo, apakah disekitarku hanya ada pasir? Berisik betul bunyinya", tanyaku padanya.
"Tidak, Jeng… Sebuah tumbuhan yang kukagumi banyak tumbuh di sekitar kakimu."
Diajeng, panggilnya padaku. Tak mengerti kenapa dia memanggil begitu, kuiyakan karena nama itu bukan nama aneh yang sembarangan diberikan pada orang.
Langkahku terhenti, Sinyo mengikuti. Aku merunduk meski tak dapat kulihat satupun. Apa Sinyo membawaku menginjak sebuah kebun bunga? Setega itukah dia?
Semakin kuat pijakanku pada tanah, semakin penasaran pula dengan apa yang kuinjak. "Kau melewati kebun bunga yang mana satu, Nyo? Kupikir tak pernah ada kebun bunga disini."
Sinyo tertawa, kuat sekali. Berbalik arti dengan usapan lembutnya pada punggung tanganku. "Menurutmu, kau menginjak kebun bunga, Jeng? Begitu takutkah kau waktu menginjaknya?"
Aku mengangguk. Sesuatu yang indah, bukan untuk disakiti. Orang seindah Sinyo, pastilah suka pada hal indah. Bukan perdu berduri bercampur ilalang.
"Kalau yang kau injak adalah perdu berduri, apa Diajeng akan beralih?"
Tentu tidak. Tolakku dalam hati. Tak ada sayang saat kau injak perdu berduri, tak bisa disamakan.
Kemudian Sinyo menarik tanganku kebawah, mengajakku bercangkung di antara ilalang. Gatal tak dapat kuelak, demi Sinyo kulakui. Sempat kurasakan telapak tanganku berbalik, setelahnya Sinyo meletakkan sesuatu di atasnya. "Jangan digenggam terlalu erat, Diajeng bisa terluka karenanya."
Saat telapak tanganku menutup, perlahan, masih berawal baik. Hanya terasa sebuah daun kecil terselip di antara jemari, batang kayu berserat kecil, banyak, bercabang-cabang juga terselip aroma rerumputan. Sinyo tak bersuara, tak jua menghalangi. Baru saat kulempar tiba-tiba, kudengar kekehan Sinyo begitu lantang. Denyutan di telapak tanganku terasa bersahutan.
"Sungguh mengagumkan, bukan? Diajeng baru saja merasakannya."
Telapak tanganku di angkat, Sinyo mengusapnya dengan amat lembut. Membuat rasa sakitnya membaur di antara hangat telapak tangan Sinyo. Hilang, begitu saja.
"Kalau Diajeng pikir hanya bunga yang mampu dikagumi, perdu berduri akan dibuat iri", jelasnya.
Perdu berduri, dia bilang? Sinyo kagum pada sesuatu yang tak seindah dirinya? Apa bisa aku percaya?
"Diinjak pun, perdu tak bermaksud menyakiti, hanya membela diri. Tak peduli apapun, bisa terus hidup. Dibandingkan bunga, aku ingin Diajeng tumbuh seperti itu."
Usapan hangat Sinyo beralih di rambutku, lembut sekali. Kalau bukan ladang perdu, mungkin aku mampu terlelap hanya bertumpu pundaknya.
"Kuat, namun bersamaan Diajeng juga rapuh seperti seharusnya", tambahnya.
"Aku tak perlu jadi perdu karena Sinyo, ada, dan akan terus menjagaku", jawabku padanya. Namun, tak lagi kudapatkan suara Sinyo menyambut. Ku harap Sinyo masih berkenan.
Yang ada hanya suara Seraja, peranakan China-Jawa. Anak baba Huang, pemilik toko kelontong. Muncul tiba-tiba di antara aku dan Sinyo adalah kegemarannya. Tak pernah aku tau seperti apa rupanya, dia tak pernah mau disentuh untuk melihat bagaimana pelik wajahnya. Kupikir dia takut bersaing dengan Sinyo. Suaranya indah kuakui, namun terlampau nyaring sekali. Sampai burung pipit di atas pohon randu pun mengepak terbang kesana kemari.
"Har! Ndar! Sedang apa kalian berjongkok di belakang ilalang!? Mau kupanggil kan Pak modin sekalian? Cepat kemari! Tak rela aku kalau kalian berdua dikawinkan!", ujarnya bersungut-sungut dari depan gerbang.
Seraja selalu tau, bagaimana cara mengakhiri momen ku bersama Sinyo. Tapi aku bersyukur, karena tanpa sadar, Seraja yang menjagaku saat di suatu waktu tiba-tiba Sinyo menghilang. Hari, si Matahari di duniaku yang tak pernah mengenal terang, meninggalkan senja untuk dikenang sekaligus jadi penenang, Seraja Huang.(*)
Cerpen ditulis oleh:
Pramatya Sukarno Putri, perempuan nusantara kelahiran Kudus Juni 2001. Sekarang mengabdi untuk sebuah organisasi pengampu Purna Paskibraka. Penghayal akut yang menggemari buku-buku fiksi. Aktif menulis, namun masih berusaha menunjukkan karyanya pada dunia.
0 comments:
Posting Komentar