Foto: Istimewa |
Akhir tahun 2019 kita diberikan harapan
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, Nadiem Makarim. Sebuah gagasan
yang menurut saya akan menjadi awal dari majunya pendidikan di Negara kita.
Konsep merdeka belajar yang di gagas oleh Mas Menteri (sapaan akrab Nadiem)
sebagai harapan baru dalam dunia pendidikan kita.
Di dalam dunia perkuliahan, Mas Menteri juga
memberikan gebrakan baru dengan gagasanya yang di rangkum dalam kampus merdeka. Mungkin banyak
perspektif dalam mengartikan arti merdeka ini. Beragam opini turut muncul dan berkembang
di dalam dunia perkuliahan sendiri.
Akan tetapi ada satu hal yang tidak bisa
dipungkiri. Sistem pendidikan di kampus yang diterapkan di negeri ini merupakan
sistem pendidikan doktrinasi. Mahasiswa diberikan pemahaman untuk diterima
seutuhnya, bukan untuk dikaji dan mencari kebenaran akan hal itu.
Dengan sistem pendidikan seperti itu, maka
tidak bisa di pungkiri bahwa pemikiran-pemikiran kritis yang harusnya dimiliki
oleh mahasiswa kini secara perlahan diberi racun yang mematikan. Tujuannya
tidak lain agar pemikiran-pemikiran kritis mahasiswa mati secara perlahan.
Mungkin banyak teman-teman mahasiswa yang
kurang menyadari problematika tersebut. Seharusnya di dalam dunia perkulihan,
antara dosen dan mahasiswa layaknya teman yang saling melempar gagasan guna
menambah wawasan, utamanya dari mahasiswa itu sendiri. Akan tetapi selama saya
berkuliah saya merasa kembali ke bangku sekolah, dimana kita seakan dipaksa
menjadi pendengar yang baik dalam perkuliahan.
Selain itu, ruang-ruang proses perkuliahan
yang seharusnya kita bisa explore guna menujang pemikiran-pemikiran
kritis, kini seakan dikubur sedikit demi sedikit. Pemuda bergelar mahasiswa
dulunya dianggap orang yang mempunyai intelektual tinggi , daya nalar krititis
yang luar biasa, dan gerakan secara massif. Namun kiranya kurang pantas jika gelar
tersebut masih diberikan kepada pemuda generasi sekarang.
Maka dari itu, jangan salahkan jika
mahasiswa yang dulunya dikenal dengan julukan agent of change, agent of control
maupun iron stock, kini hilang semua tanpa membekas. Hal tersebut
berkaitan dengan sistem dari hulu sampai hilir yang tidak pernah berpihak
kepada nalar kritis mahasiswa. Ditambah pula dengan karakter mahasiswa di era
sekarang yang kuliah hanya untuk mendapatkan gelar kehormatan. Sama seperti
orang-orang yang dianggap penting di ngeri ini, mereka beranggapan dengan gelar
yang mereka peroleh bisa menunjang kehidupanya di kemudian waktu.
Jangan salah jika marwah mahasiswa di era
sekarang dipertanyakan. Apakah marwah sebagai mahasiswa yang dulu di agungkan
kini masih ada? Mahasiswa yang duluya berdiskusi dan baca buku merupakan
kebutuhan wajib, kini sudah disibukkan dengan berbagai sosial media yang
dituntut selalu eksis di dalamnya.
Jika banyak pepatah yang bilang kemajuan
bangsa ini ditentukan para pemuda, maka kehancuran bangsa ini juga ditentukan
para pemudanya.(*)
Artikel ditulis oleh:
Sholikin Muhammad, kader PMII Komisariat Sunan Muria. Di tengah hobinya yang tidak menentu, memilih menyibukkan diri dengan ngopi. Menjunjung motto hidup "Budayakan membahas apapun itu, walaupun hanya dalam pemikiran".
0 comments:
Posting Komentar